Bagi seorang Muslim, memahami untuk apa dan harus menjadi apa dia dalam hidup ini adalah sebuah keniscayaan. Artinya anda setuju atau tidak memang begitu arahnya. Hal inilah yang akan membantu memilih jenis karya besar apa yang seharusnya ia persembahan kepada Sang Khalik. Sesuatu yang dalam melaksanakannya, betul-betul akan menyita seluruh waktu hidup miliknya.
Persoalan ini begitu besar karena bingkai dari seluruh lukisan kehidupan. Ia akan menjadi parameter dalam bermuhasabbah, sumber inspirasi dalam melangkah, sebagai tenaga manakala dihadang rasa lelah dan teman setia tatkala sendirian. Dia akan mengenali jati dirinya dari perenungan yang mendalam terhadap ayat : "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu" (adz Dzariyat : 56). Berkaitan dengan ayat itu, Ibnu 'Abbas- Radhiyallahu'anhum dan Ibnu Jarir Ath Thabari-Rahimahullah menyatakan : Bahwa hidup adalah menetapkan peribadatan kepada Allah sebagai konsekuensi pentauhidan kita terhadap UlluhiyyahNya, baik suka maupun terpaksa. Hal ini merupakan puncak ketundukan (Khudu') dan perendahan diri (Tadzalul) dari seorang hamba, Simpul dari serentetan perenungan bahwasanya masalah hidup setelah mati adalah masalah besar dan sangat penting dalam hidup karena kepadaNyalah segalanya akan bermuara.
Sehingga bagi seorang muslim, seharusnya menjadi seorang ahlu ibadah ('abid) adalah puncak keinginan. Ahlu ibadah yang benar-benar berpegang teguh kepada ilmu dan kebenaran. Tentu saja bukan berarti mengesampingkan bagian dunianya yang telah ditetapkan oleh Allah. Alhasil ia merupakan muslim yang berjalan di muka bumi ini, tapi hati dan akalnya terikat dengan kehidupan kekalnya. Ia mengikatkan diri dengan ketentuan syari'at dalam setiap aktifitas kehidupannya.
Berkaca dari ayat tersebut, seorang muslim akan memegang konsekuensi logis yang membuatnya beda dengan manusia lain. Ia akan memahami bahwa dalam hidup prestasi yang paling bernilai di hadapan Allah adalah ibadah itu sendiri, sebuah standar nilai yang tidak bisa ditawar lagi. Hal ini membuatnya mengerti tentang apa yang seharusnya ia lakukan, apa yang harus ditinggalkan dan ia tidak ragu-ragu dalam menentukan pilihannya. Ia sadar bahwa hidup hanya sekali, kesempatan tidak datang dua kali sehingga ia tidak berani berspekulasi menyia- nyiakan waktu dan kondisinya untuk berbuat yang tidak bermanfaat bagi kehidupan kekalnya. Ia senantisa menjaga dirinya dari penyimpangan/maksiat dan tidak terpedaya dengan aneka ragam capaian-capaian duniawi tanpa iman.
Sehebat apapun orang-orang menyebutnya, seindah apapun tampilannya, sebanyak apapun pengikut dan pemujanya, serta sekeras apapun gaung yang bergema. Ia tidak akan pernah menyempatkan diri untuk menyesali dan mempersoalkan takdir kauniayh Allah pada dirinya, sesuatu yang terbukti telah sering menyesatkan manusia. Penyesalan dan penolakan terhadap masalah ini akan membawa pada perasaan tidak puas dan pengingkaran terhadap nikmat Allah, dan baginya hanya ada dua pilihan untuk menyikapinya, bersyukur atau bersabar sembari terus berusaha/tawakkal. Baginya kemasyuran, status sosial, ketampanan/kecantikan, kekayaan, kecemerlangan otak dan pengakuan orang lain atas apa yang ia lakukan, tidaklah sebanding dengan keberhasilannya sebagai hamba Allah. Sebaliknya, tidak terkenal, miskin, tidak menarik secara fisik, tidak banyak pengikut dan dianggap fundamentalis, tidak menyurutkan langkahnya untuk beribadah dan berjuang mencapai prestasi tertinggi di sisiNya. Sudah jelas baginya parameter yang dia gunakan untuk segala aktifitasnya, satu-satunya keinginan yakni mendapatkan ridha Allah, kehidupan yang kekal. Ia akan senantiasa menilai orang lain dari sisi yang paling adil, yakni ketakwaaannya. "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa" (Al Hujuraat : 13) ia sadar bahwa muamalah merupakan salah satu ibadah, sehingga ia bukanlah orang yang memisahkan diri dari lingkungannya. Ia paham bahwa orang lain adalah mitra dalam perolehan amal shalih. Ia senantiasa berusaha memandang orang lain dari prestasi ibadahnya, tanpa melihat kepada ukuran-ukuran duniawi yang diskriminatif dan sempit dan terlihat tidak subsatansial alias palsu. Dari hal itu akan terbangun dalam dirinya kekaguman sekaligus penolakan. Dia kagumi orang/tokoh sejarah yang telah terbukti menorehkan prestasi emas peribadatan kepada Allah, dan ia memiliki keinginan untuk memperpanjang deretan "manusia-manusia" tersebut. Sebaliknya, ia akan menganggap remeh dan kecil tokoh-tokoh "besar" yang sebenarnya bukan apa-apa dalam kacamata Dien dan Iman. Dari situ seharusnya seorang muslim bisa memilih. Dengan siapa ia akan menghabiskan usianya, memberikan loyalitasnya, dan berlepas diri dari segala pernak pernik etnis maupun geografis. Itulah kompetisi dalam hidup, sehingga ia akan sangat memahami bahwasannya manusia-manusia yang memperturutkan hawa nafsunya dan mencapekkan diri untuk berebut kue dunia dengan menghalalkan segala cara, sungguh mereka sebenar-benarnya tidak mencetak prestasi apa-apa. Waliya'udzu billahBagi seorang Muslim, memahami untuk apa dan harus menjadi apa dia dalam hidup ini adalah sebuah keniscayaan. Artinya anda setuju atau tidak memang begitu arahnya. Hal inilah yang akan membantu memilih jenis karya besar apa yang seharusnya ia persembahan kepada Sang Khalik. Sesuatu yang dalam melaksanakannya, betul-betul akan menyita seluruh waktu hidup miliknya. Persoalan ini begitu besar karena bingkai dari seluruh lukisan kehidupan. Ia akan menjadi parameter dalam bermuhasabbah, sumber inspirasi dalam melangkah, sebagai tenaga manakala dihadang rasa lelah dan teman setia tatkala sendirian.
Dia akan mengenali jati dirinya dari perenungan yang mendalam terhadap ayat : "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu" (adz Dzariyat : 56). Berkaitan dengan ayat itu, Ibnu 'Abbas- Radhiyallahu'anhum dan Ibnu Jarir Ath Thabari-Rahimahullah menyatakan : Bahwa hidup adalah menetapkan peribadatan kepada Allah sebagai konsekuensi pentauhidan kita terhadap UlluhiyyahNya, baik suka maupun terpaksa. Hal ini merupakan puncak ketundukan (Khudu') dan perendahan diri (Tadzalul) dari seorang hamba, Simpul dari serentetan perenungan bahwasanya masalah hidup setelah mati adalah masalah besar dan sangat penting dalam hidup karena kepadaNyalah segalanya akan bermuara. Sehingga bagi seorang muslim, seharusnya menjadi seorang ahlu ibadah ('abid) adalah puncak keinginan. Ahlu ibadah yang benar-benar berpegang teguh kepada ilmu dan kebenaran. Tentu saja bukan berarti mengesampingkan bagian dunianya yang telah ditetapkan oleh Allah. Alhasil ia merupakan muslim yang berjalan di muka bumi ini, tapi hati dan akalnya terikat dengan kehidupan kekalnya. Ia mengikatkan diri dengan ketentuan syari'at dalam setiap aktifitas kehidupannya. Berkaca dari ayat tersebut, seorang muslim akan memegang konsekuensi logis yang membuatnya beda dengan manusia lain. Ia akan memahami bahwa dalam hidup prestasi yang paling bernilai di hadapan Allah adalah ibadah itu sendiri, sebuah standar nilai yang tidak bisa ditawar lagi.
Hal ini membuatnya mengerti tentang apa yang seharusnya ia lakukan, apa yang harus ditinggalkan dan ia tidak ragu-ragu dalam menentukan pilihannya. Ia sadar bahwa hidup hanya sekali, kesempatan tidak datang dua kali sehingga ia tidak berani berspekulasi menyia- nyiakan waktu dan kondisinya untuk berbuat yang tidak bermanfaat bagi kehidupan kekalnya. Ia senantisa menjaga dirinya dari penyimpangan/maksiat dan tidak terpedaya dengan aneka ragam capaian-capaian duniawi tanpa iman. Sehebat apapun orang-orang menyebutnya, seindah apapun tampilannya, sebanyak apapun pengikut dan pemujanya, serta sekeras apapun gaung yang bergema. Ia tidak akan pernah menyempatkan diri untuk menyesali dan mempersoalkan takdir kauniayh Allah pada dirinya, sesuatu yang terbukti telah sering menyesatkan manusia. Penyesalan dan penolakan terhadap masalah ini akan membawa pada perasaan tidak puas dan pengingkaran terhadap nikmat Allah, dan baginya hanya ada dua pilihan untuk menyikapinya, bersyukur atau bersabar sembari terus berusaha/tawakkal. Baginya kemasyuran, status sosial, ketampanan/kecantikan, kekayaan, kecemerlangan otak dan pengakuan orang lain atas apa yang ia lakukan, tidaklah sebanding dengan keberhasilannya sebagai hamba Allah. Sebaliknya, tidak terkenal, miskin, tidak menarik secara fisik, tidak banyak pengikut dan dianggap fundamentalis, tidak menyurutkan langkahnya untuk beribadah dan berjuang mencapai prestasi tertinggi di sisiNya. Sudah jelas baginya parameter yang dia gunakan untuk segala aktifitasnya, satu-satunya keinginan yakni mendapatkan ridha Allah, kehidupan yang kekal. Ia akan senantiasa menilai orang lain dari sisi yang paling adil, yakni ketakwaaannya. "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa" (Al Hujuraat : 13) ia sadar bahwa muamalah merupakan salah satu ibadah, sehingga ia bukanlah orang yang memisahkan diri dari lingkungannya. Ia paham bahwa orang lain adalah mitra dalam perolehan amal shalih. Ia senantiasa berusaha memandang orang lain dari prestasi ibadahnya, tanpa melihat kepada ukuran-ukuran duniawi yang diskriminatif dan sempit dan terlihat tidak subsatansial alias palsu.
Dari hal itu akan terbangun dalam dirinya kekaguman sekaligus penolakan. Dia kagumi orang/tokoh sejarah yang telah terbukti menorehkan prestasi emas peribadatan kepada Allah, dan ia memiliki keinginan untuk memperpanjang deretan "manusia-manusia" tersebut. Sebaliknya, ia akan menganggap remeh dan kecil tokoh-tokoh "besar" yang sebenarnya bukan apa-apa dalam kacamata Dien dan Iman. Dari situ seharusnya seorang muslim bisa memilih. Dengan siapa ia akan menghabiskan usianya, memberikan loyalitasnya, dan berlepas diri dari segala pernak pernik etnis maupun geografis. Itulah kompetisi dalam hidup, sehingga ia akan sangat memahami bahwasannya manusia-manusia yang memperturutkan hawa nafsunya dan mencapekkan diri untuk berebut kue dunia dengan menghalalkan segala cara, sungguh mereka sebenar-benarnya tidak mencetak prestasi apa-apa. Waliya'udzu billah
sumber : situslakalaka.com