Rabu, 12 Februari 2014

Kisah Perjalanan Alm. Lukminto Bos Sritex menuju Islam


Saya lahir 1 Juni 1946 di Kertosono, Nganjuk, Jawa timur. Bertetangga dengan keluarga Bapak H. Harmoko, Ketua DPR/MPR RI (waktu itu). Beliau sahabat sejak kecil. Meskipun jalan hidup berbeda, namun tak membuat jarak antara kami. Tetap akrab bila bertemu.
Saya terjun ke bisnis & industri tekstil. Kisah menjadi industriawan & pengusaha tekstil sukses, dimulai ketika menjadi pedagang tekstil kecil-kecilan di Pasar Klewer Solo. Waktu itu saya wira-wiri menjual tekstil eceran. Meningkat mempunyai kios tetap.
Rupanya, hoki berbisnis tekstil, lambat laun bisa membuka pabrik sederhana, di Jl. Kyai Maja di tepi Bengawan Solo. Dengan pabrik tekstil sendiri, bisnis maju pesat. Bersama kakak kandung, mendirikan pabrik besar seluas 65 hektar dengan investasi 300 miliar rupiah. Pabrik kami beri nama PT Sri Rejeki Isman (Sritex), di Desa Jetis, Sukoharjo. Karyawan sekitar 20.000.
3 Maret 1992, pabrik turut diresmikan bapak Soeharto, bersama 275 pabrik lainnya di Surakarta, Jawa Tengah. Bukan main bangganya. Cita-cita menjadi orang kaya tercapai sudah. Kini, orang tak lagi menghina. Saya bukan lagi Lukminto yang miskin. Hari ini adalah Lukminto yang kaya raya, & menyandang “Raja Tekstil.”
Tapi, benarkah bahagia? Lahiriah memang, saya tak kurang apapun. Rumah mewah, harta berlimpah, pabrik modern ribuan karyawan, & isteri cantik setia. Apa lagi? Ada 1 hal yang tidak dirasakan, batin tak tenang. Gelisah, selalu mengejar materi.
Umumnya WNI keturunan, kami penganut Budha Konghucu. Yakni Budha bercampur tradisi & pandangan hidup leluhur. Karena dari keluarga miskin, pendidikan agama kurang perhatian. Kami disibukkan mencari uang.
Sejak kecil diajar dagang. Masih ingat, pulang sekolah, saya & kakak langsung berdagang makanan kecil, seperti kacang goreng, permen, rokok, & lain-lain. Orang tua menekankan agar menjadi kaya. Miskin itu tidak enak, jadi cemoohan.
Begitu pesannya. Kami pun dididik tidak boleh puas terhadap perolehan yang didapat. Kalau hari ini sama dengan kemarin, berarti rugi. Karena dicambuk seperti itu, saya tumbuh menjadi mandiri & ulet. Saya tak bercita-cita muluk,  lazimnya teman-teman. Pegawai negeri, ABRI, polisi, pilot, dokter, & lain-lain. Cukup jadi orang kaya.
Mengapa begitu? Tahu diri. Sebagai WNI keturunan, nasib kami ditentukan usaha & keuletan sendiri. Remaja, saya sadar, posisi kami“kurang beruntung” dibandingkan lainnya. Kami tak bisa jadi ABRI, atau pegawai negeri. Padahal lahir di negeri ini, mencintai negeri ini, sama seperti suku-suku lainnya di Nusantara ini. Itulah kenyataan.
Tak Punya Pegangan
Tak ada jalan lain bertahan hidup, selain mengkonsentrasikan seluruh daya & kemampuan dalam perdagangan. Itulah barangkali faktor yang membuat kami menjadi suku bangsa yang ulet berdagang. Tapi, resikonya, yaitu tadi, perhatian beragama, kurang. Bahkan, nyaris tak punya pegangan.
Di rumah, Budha Konghucu, di sekolah Kristen. Agama, buat saya, hanya tempelan belaka. Budha, tak pernah ke wihara sembahyang. Kristen, nyaris tak pernah kebaktian.
Karena, terlalu dikejar obsesi menjadi orang kaya, saya lupa segalanya. Saya tak tahu halal & haram. Semua cara ditempuh, memperoleh kekayaan. Termasuk ke Gunung Kawi. Tempat keramat, orang datang minta pesugihan (kekayaan). Melalui petunjuk kuncen, saya nglakoni (menjalankan) persyaratan, yang tak bisa saya ceritakan di sini.
Alhasil, dalam tempo singkat usaha dagang maju pesat. Semula dagang tekstil eceran, meningkat membuka kios, lalu pabrik tekstil sederhana, akhirnya pabrik tekstil raksasa. PT Sritex itu. Kendati sudah Raja Tekstil, batin kosong siraman rohani. Saya tak pernah merasakan kebahagiaan & kedamaian, sebagaimana sering saya saksikan kehidupan kaum muslimin.
Sebagian besar karyawan beragama Islam. Sering saya saksikan, di sela-sela istirahat makan siang, mereka sembahyang (belakang saya tahu, itu shalat). Meskipun di pabrik ada tempat khusus shalat (mushalla atau masjid), mereka tetap shalat di beberapa tempat, seperti di gudang & di lorong-lorong pabrik.
Sering saya amati, usai shalat, wajah mereka tampak cerah. Seakan terpancar jiwa yang tenang. Padahal saya tahu pasti, gaji mereka tak ada apa-apanya dibanding kekayaan saya. Suatu kali, iseng saya tanyakan, mengapa disiplin shalat.
Apa jawabannya? Sungguh membuat terkejut. “Kami shalat semata-mata mencari keridhaan Allah, hidup di dunia hanya sementara. Ada kehidupan yang kekal di akhirat kelak, yang harus kami persiapkan sebelum mati,” begitu jawab mereka.
Sungguh, selama itu saya tak pernah berpikir mati. Yang saya tahu, kematian hanyalah akhir kehidupan. Menurut karyawan tadi, kematian adalah pintu atau jalan antara, menuju alam lain, yang disebut akhirat. Segala perbuatan, akan diperhitungkan sesuai baik-buruknya. Mengingat itu, bulu kuduk berdiri. Saya amat takut menghadapi kematian, dalam keadaan dosa.
Mimpi Shalat
Sejak itu, saya jadi pendiam. Suka merenung & berpikir tentang diri sendiri. Mulai suka mengikuti siaran Mimbar Agama Islam yang ditayangkan TVRI setiap Kamis Malam. Begitu tenggelamnya dalam perenungan, sehingga suatu malam, 10 Januari 1994 malam 27 Rajab (Isra’ Mi’raj), saya bermalan di vila sejuk, di Tawangmangu (Solo). Dalam tidur, bermimpi diberikan sehelai sajadah oleh teman karib, lalu disuruh shalat.
“Saya nggak bisa shalat,” jawab saya. Lalu, ia memberi contoh. Setelah paham, disuruh mengulangi gerakan shalat yang ia peragakan.“Shalatlah kamu,” katanya. Saya pun shalat. Tapi, baru separo jalan, terjaga. Ternyata, mimpi. Sejak bermimpi itu, saya jadi gelisah. Isteri bingung melihat saya. Saya tak menceritakan mimpi itu padanya. Untuk beberapa waktu, mimpi hanya jadi rahasia saya. Lama-lama, tak tahan juga untuk tidak bercerita.
Saya mempunyai tukang pijat pribadi, namanya Pak Edi. Muslim taat. Ketika suatu malam dipijat, saya ceritakanlah mimpi itu. Pak Edi spontan bergumam, “Subhanallah, insya Allah tak lama lagi Bapak akan masuk Islam,” katanya mantap. “Benarkah ?” tanya saya.“Insya Allah,” jawabnya pasti.
Sejak itu, saya dibimbing shalat. Saya pun mengikuti sarannya, berkhitan. Semua sembunyi-sembunyi. Khitan di Jakarta. Ketika masuk bulan suci Ramadhan, saya pun puasa & zakat (mal). Karena sudah mantap, Pak Edi menyarankan agar keislaman segera diproklamirkan.
Agar semua orang tahu, saya muslim. Sarannya pun diterima. Singkat cerita, 11 Maret 1994 bertepatan peringatan Supersemar, saya mengucapkan 2 kalimat syahadat di hadapan umat Islam & karyawan PT Sritex, dibimbing pemimpin Ponpes Al-Mukmin, Ngruki, Ustadz H.Moh. Amir, S.H.
Alhamdulillah, isteri telah muslimah. 1995, bersama isteri & 10 orang staf PT Sritex, menunaikan Haji. (dari Buku “Saya memilih Islam” Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/Journey to Islam Oleh : Redaksi 29 Oct 2005 – 1:50 am ).
ooo
Cahaya Tuhan. Allah berfirman, “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” [39:22]
Pemberi petunjuk. Allah berfirman, “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri.
Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).” [2:272]
Semuanya kembali. Allah berfirman, “Hanya kepada-Nya-lah kamu semuanya akan kembali; sebagai janji yang benar daripada Allah, sesungguhnya Allah menciptakan makhluk pada permulaannya kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali (sesudah berbangkit), agar Dia memberi pembalasan kepada orang-orang yang beriman & yang mengerjakan amal shaleh dengan adil. Dan untuk orang-orang kafir disediakan minuman air yang panas & adzab yang pedih disebabkan kekafiran mereka.” [10:4]
Semua patuh. Allah berfirman, “Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit & di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (& sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi & petang hari.” [13:15]
Mengingat. Allah berfirman, “(yaitu) orang-orang yang beriman & hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” [13;28]

Digg Google Bookmarks reddit Lintasberita StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl
blog comments powered by Disqus