Oleh : ustadz aris munandar
dari www.ustadaris.com
Dari Abu Humaid as Sa’idi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dari Musa bin ‘Uqbah, ketika ‘Iyadh bin Ghanam diangkat sebagai gubernur Himsh di masa Khalifah Umar bin Khatab, sejumlah keluarganya datang menemuinya dengan maksud mengharap bantuan Iyadh. Iyadh menyambut mereka dengan wajah ceria, memberi tempat untuk menginap dan memuliakan mereka. Mereka tinggal selama beberapa hari. Setelah itu mereka berterus terang meminta bantuan. Mereka juga bercerita bagaimana susahnya perjalanan dengan harapan agar mendapat bantuan. Iyadh lantas memberikan kepada masing-masing mereka uang sebanyak sepuluh dinar. Mereka semua berjumlah lima orang. Ternyata mereka kembalikan uang sepuluh dinar tersebut. Mereka merasa marah dan mencela Iyadh.
dari www.ustadaris.com
Dari Abu Humaid as Sa’idi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dari ‘Adi bin ‘Amirah al Kindi, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda“Hadiah untuk para pegawai adalah ghulul (harta yang di dapat dari khianat terhadap amanah, korupsi)” (HR Ahmad no 23601).
“Siapa di antara kalian yang kami beri amanah dengan suatu pekerjaan lalu dia tidak menyerahkan sebuah jarum atau yang lebih bernilai dari pada itu kepada kami maka harta tersebut akan dia bawa pada hari Kiamat sebagai harta ghulul (baca:korupsi)” (HR Muslim no 4848).Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Buraidah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa saja yang kami pekerjakan lalu telah kami beri gaji maka semua harta yang dia dapatkan di luar gaji (dari pekerjaan tersebut, pent) adalah harta yang berstatus ghulul (baca:korupsi)” (HR Abu Daud no 2943, Dalam Kaifa hal 11, Syeikh Abdul Muhsin al Abbad mengatakan, ‘Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang shahih dan dinilai shahih oleh al Albani’).
Iyadh lantas berkata, “Wahai anak-anak pamanku, demi Alloh aku tidaklah mengingkari hubungan kekerabatan yang ada di antara kita. Aku juga menyadari bahwa kalian punya hak untuk mendapat bantuanku serta jauhnya perjalanan kalian sehingga bisa sampai sini. Namun aku tidak punya melainkan apa yang sudah kuberikan. Untuk lebih daripada itu aku harus menjual budakku dan barang-barang kebutuhanku maka tolong pahamilah keadaanku”.
Mereka mengatakan, “Demi Alloh kami tidak bisa menerima alasanmu karena engkau adalah penguasa separoh negeri Syam (sekarang meliputi Suriah, Yordania, Palestina dan Libanon pent). Masak engkau tidak mampu memberi kami ongkos perjalanan pulang yang mencukupi?”.
Beliau dengan tegas mengatakan, “Apakah kalian menyuruhku untuk mencuri harta Alloh?!
Demi Alloh, seandainya badanku dibelah dengan gergaji itu lebih aku sukai dari pada aku berkhianat mengambil harta negara meski hanya satu fulus (baca: seratus rupiah) atau aku bertindak melampaui batas”.
Mereka berkata, “Kami sudah bisa memahami kemampuan finansialmu. Sebagai gantinya, berilah kami jabatan yang menjadi kewenanganmu. Kami akan melaksanakan tugas sebagaimana para pegawai yang lain dan kami mendapatkan gaji sebagaimana yang juga mereka dapatkan. Engkau telah mengenal kami dengan baik. Kami tidak akan menyalahgunakan wewenang yang kau berikan kepada kami”.
Beliau berkata, “Sungguh aku adalah orang yang sangat ingin berbuat baik dan memberi jasa kepada kepada orang lain. Namun apa jadinya jika sampai berita kepada Umar bahwa aku memberi jabatan kepada sejumlah keluargaku. Tak ayal lagi beliau pasti akan menyalahkanku”.
Mereka berkata, “Bukankah Abu Ubaidah yang mengangkatmu sedangkan engkau masih kerabat dekat Abu Ubaidah dan nyatanya Umar menyetujui pengangkatanmu? Seandainya engkau mengangkat kami niscaya Umarpun akan setuju”.
Beliau berkata, “Aku tidaklah sebagaimana Abu Ubaidah dalam pandangan Umar”. Akhirnya mereka ngeloyor sambil mencela Iyadh (Shifat al Shofwah karya Ibnul Jauzi 1/669-670, cet Dar al Ma’rifah Beirut).
Beliaulah ‘Iyadh bin Ghanam bin Zuhair. Beliau masuk Islam sebelum perjanjian Hudaibiyah. Beliaupun menyaksikan Hudaibiyyah bersama Rasulullah. Ketika Abu Ubaidah hendak meninggal dunia. Abu Ubaidah mengangkat Iyadh untuk menggantikan jabatannya dan khalifah Umar menyetujui keputusan beliau tersebut.
Beliau adalah seorang yang dermawan. Ada yang mengadukan sifat beliau ini kepada Umar dengan tuduhan beliau suka menghambur-hamburkan harta dengan maksud agar beliau dipecat oleh khalifah. Mendengar laporan tersebut, Umar malah berkata, “Beliau hanya dermawan dengan hartanya. Akan tetapi jika beliau memegang harta Alloh (baca: uang negara) maka tidak akan beliau berikan sedikitpun kepada siapapun. Aku tidak akan memecat orang yang diangkat oleh Abu Ubaidah”. Kisah di atas menunjukkan benarnya perkataan Umar bin Khattab.
Beliau meninggal dunia tanpa meninggalkan harta sedikitpun. Beliau meninggal tahun 20 H dalam usia 60 tahun.
Demikianlah kehati-hatian shahabat terhadap korupsi, suatu hal yang langka kita jumpai di zaman ini.
Benarlah sabda Nabi.
“Sesungguhnya bagian badan manusia yang pertama kali membusuk adalah perutnya. Oleh karena itu, siapa yang mampu untuk hanya makan makanan yang halal saja maka hendaknya dia usahakan” (HR Bukhari no 6733 dari Jundab bin Abdillah).